Kamis, 09 Desember 2010

muslim kalkulatif

lagu itu mengalun lambat, syahdu, tapi bait-bait di dalamnya menghentak. aku tak bisa tak menyimaknya. bait yang tak asing.

..........

apakah kita semua
benar-benar tulus
menyembah pada-nya
atau mungkin kita hanya
takut pada neraka
dan inginkan surga

jika surga dan neraka tak pernah ada
masihkan kau bersujud kepada-nya
jika surga dan neraka tak pernah ada
masihkah kau menyebut nama-nya

bisakah kita semua
benar-benar sujud sepenuh hati
kar`na sungguh memang dia
memang pantas disembah
memang pantas dipuja

[chrisye feat ahmad dani]
............

sadar bahwa ego manusia penuh pertimbangan, agama Islam datang tidak hanya dengan petunjuk, tapi juga menyerta iming-iming dan janji. sabda agama, "jika kamu baik kuberikan untukmu surga. jika kamu buruk kubenamkan kamu ke neraka." kebaikan berbalas kenikmatan, kejahatan berbuah kesengsaraan. dalam bentuknya yang sungguh materi. surga dan neraka.

dalam konteks ini, agama menyesatkan: ia secara tidak sadar telah memalingkan pemeluknya untuk mendekatkan diri seutuhnya kepada Tuhan Yang Maha Segala, dengan memunculkan iming-iming surga-neraka, dosa-pahala. agama seperti mendedah sebuah pepatah, "tak ada makan malam gratis!" maka ia ciptakan surga dan neraka dan menjejalkannya dalam benak manusia.

tapi harus diakui bahwa agama berhasil: ia sukses mencipta pemeluk-pemeluk agama bersikap sangat kalkulatif. "aku harus berbuat baik, karena kuinginkan surga nanti dan takkan pernah kulakukan kejahatan sebab ku tak mau terjun di api neraka." begitulah pikir mereka.

agama terjerumus. ia telah memberi ruang negoisasi. "kau baik, aku surga. kau jahat, aku neraka."

lalu di manakah Tuhan berada?

mulut agama berbusa-busa saat menceritakan keindahan surga. pepohonan, dedaunan, taman madu, telaga susu, dan perempuan-perempuan cantik (apakah agama seorang pria?)! agama betah berlama-lama membangun kata-kata tentang istana, keinginan yang pasti-tercapai, dan segala saji kenikmatan.

saat membicarakan soal neraka, agama memasang wajah murka. mimiknya amarah. ia melontarkan kata-kata neraka seakan panas itu benar-benar muncrat dari mulutnya. agama benar-benar menakuti, sekaligus menakutkan.

tentu. tentu saja agama juga bicara tentang Tuhan. tapi Tuhan tak bisa diilustrasikan. Tuhan tak bisa digambarkan. lidah agama seakan kelu. ia gagal menjelaskan kepada pemeluknya seperti apa dan bagaimana sebenarnya Tuhan. maka kata agama, "apapun yang kau bayangkan tentang Tuhan, Tuhan tak seperti itu." Tuhan tak terbayangkan.

apakah agama sebenarnya tak pernah mengenal Tuhan? tak pernah bertemu dan bertatap muka denganNya?

jika demikian, bagaimana jika kita lupakan saja agama? kenali saja Tuhan. dekati saja Dia. tepikan agama dengan segala kalkulasi-kalkulasi yang dibawanya. atau kita akrabi agama tapi indahkan segala kalkulasi-kalkulasi itu. kita dekati Tuhan dengan segala misteriNya. hanya satu tujuan. benar. hanya satu destinasi: Tuhan. dan bukankah-kita percaya bahwa-Tuhan tak mengenal kalkulasi?

Rabu, 08 Desember 2010

islam terpenjara

awalnya Islam muncul sebagai sebuah ajaran: wahyu yang diyakini diturunkan oleh Allah melalui Muhammad. ajaran ini kemudian disakralkan dalam bentuk teks-teks suci. dari teks-teks suci ini para teolog mengembangkan dogma teologis dan ahli-ahli fikih membentuk berbagai aturan dan implikasi praktisnya. ajaran itu pun menjelma menjadi sebuah sistem.

jadi, Islam yang kita anut dan pelajari saat ini adalah sebuah sistem. masuk dalam Islam berarti masuk dalam sebuah sistem yang menuntut komitmen: di dalam dan melaksanakan apapun yang digerakkan oleh sistem-dengan imbalan mendapatkan semua fasilitas dan iming-iming, atau keluar dengan konsekuensi tak mendapat pengakuan, fasilitas atau janji-janji itu.

jelas saja, sebuah sistem bersifat mengikat. Islam juga. ia mengikat para pemeluknya dalam berbagai corak nilai, tata cara, ritual, aturan-aturan praktis, dan semacamnya. sebagian dari mereka merasa nyaman dengan sistem itu, sebagian merasa tak nyaman, sebagian yang lain tidak peduli.

sebagian dari mereka yang merasa tak nyaman mencoba memperbaiki sistem yang dianggap rusak itu. menurut kelompok ini, Islam harus dikembalikan kepada identitas awalnya sebagai sebuah ajaran, bukan sebuah sistem. bentuk Islam sebagai sistem telah mengebiri dan mengekang keluasan dan keluesan ajaran Islam.

keinginan mengembalikan Islam pada identitas awalnya jelas bukan hal mudah. atau mungkin dianggap mustahil. yang tidak setuju mengatakan, keinginan semacam ini ahistoris. metaformosa Islam dari ajaran ke sistem adalah realitas sejarah. pendapat lain berkata, Islam sebagai ajaran dan Islam sebagai sistem tak bisa dipisahkan. memisahkan keduanya ibarat memisahkan gula dengan air dalam segelas teh manis yang telah larut.

pendapat-pendapat itu tidak salah, meskipun tidak tentu benar. ajaran Islam bukanlah gula yang ketika larut lalu lebur. Islam tidak membentuk sistem dengan sendirinya. ia dibentuk. dituliskan. ditafsirkan. dibudayakan. lalu dibakukan. ada proses sistematizing. jika ajaran diibaratkan ruh, spirit, maka sistem bisa dikiaskan sebagai raga, praktik. dan kini, raga itu telah dianggap memenjarakan ruh di dalamnya. lalu apa yang harus dilakukan?

salah satunya tentu dengan cara membebaskan ajaran Islam dari penjara sistem, dari sistem yang memenjarakan. ajaran Islam yang mengajari kita pentingnya kebebasan harus dibebaskan.

But How?

Kamis, 04 Juni 2009

setiap kali melihat willy

Setiap kali melihat Willy saya selalu teringat sesi perkenalan pertamanya di kelas Agama-agama Afrika (African Religions). Katanya, “Sepertinya saya adalah yang tertua di kelas ini…” Kami semua tertawa.

Willy benar. Ia sudah berumur 60 tahun lebih: sebuah usia yang tak lagi muda untuk masih dengan semangat pergi kuliah dan belajar di ruang perkuliahan. Usia Dr. Terry Rey, dosen mata kuliah Agama-agama Afrika yang kami kaji, bahkan tidak sampai 60 tahun.

Pada sosok Willy inilah saya menemukan representasi hadits (atau pepatah Arab?) yang sudah lama saya hafal, uthlub al-‘ilma min al-mahd ila al-lahd (carilah ilmu sejak lahir hingga terkubur liang lahat). Di Indonesia, fenomena Willy jarang kita temukan. Kampus adalah “tempat bermain” orang-orang muda. Orang yang sudah lanjut usia, biasanya memilih untuk diam di rumah, menikmati usia senja bersama keluarga. Pendidikan adalah milik orang muda. Tak jarang kita dengar, “Carilah ilmu mumpung masih muda.” Apakah dengan kata lain ungkapan itu ingin mengatakan, nanti kalau sudah tua kamu tidak bisa lagi menuntut ilmu? Ataukah sekadar mengingatkan bahwa waktu kita untuk mencari ilmu di usia tua nanti tak sebanyak waktu muda? Tergantung bagaimana kita melihatnya.

Dan Willy bukan hanya pendengar di kelas. Dia memang sudah tua, mantan pengusaha (businessman), tapi dia memiliki semangat belajar dan analisis yang terus ia muda-kan. Willy tak jarang menjadi rujukan saat diskusi kita mengarah kepada persoalan ekonomi. Bukan karena ia yang tertua, tetapi lebih karena representasi dia sebagai businessman. Ini juga salah satu pelajaran: intelektualitas tidak memihak usia tertentu. Ia berdasar pada data, pengetahuan, analisa dan penalaran logika.

Meski Willy adalah orang tertua, tapi Dr. Terry Rey tak memosisikan dia sebagai “orang tua”. Kami sama: duduk di ruang yang sama, membaca diktat dan tema yang sama, mendengarkan kuliah yang sama, meski berangkat dengan motivasi, niat, dan kemampuan mencerna yang berbeda. Ilmu (dalam maknanya sebagai proses dan hasil) memang tak mengenal usia.

Pada sosok Willy saya juga temukan kesederhanaan. Dia tetap pulang pergi kuliah dengan naik bus atau subway. Setiap usai kuliah, saya akan melihat dia mengeluarkan travel-map, melihat jadwal bus, lalu bergegas pulang. Bahkan seorang professor seperti John Raines—penulis Marx on Religion—tak “malu” untuk naik bus kampus bersama mahasiswa-mahasiswa. Ini memang bukan soal yang luar biasa. Tapi akan tampak luar biasa saat disandingkan dengan hedonisme ala sebagian mahasiswa Temple University yang pergi-pulang kampus dengan mobil mewah, dandanan modis dan gaya tubuh yang gaul. Padahal ilmu tidak pernah tertarik dengan style. Ilmu pengetahuan hanya akan bersanding seiring dengan ketekunan, kecerdasan, dan hope.

Philadelphia, 4/6/2009

Minggu, 10 Mei 2009

pertemanan versus ketetanggaan

Mendengar perkataan John Raines, saya merasa menemukan jawaban atas individualisme yang selama ini disematkan sebagai sebuah imej kepada orang-orang Barat. Suatu ketika di kelas Post-colonialism, Pak Raines berkata, “Kita lebih cenderung untuk tidak merasa memiliki neighborhood (ketetanggaan), dan lebih sering hidup dengan friendship (pertemanan).” Memang, saat mengatakan itu John Raines tidak sedang menjelaskan orang-orang Barat. Tapi saya langsung teringat imej yang selama ini saya dengar bahwa orang-orang Barat cenderung individualis dan nafsi-nafsi.

Statemen di atas mencerahkan. Kita tahu, berbeda dengan kehidupan di desa, ketetanggaan di masyarakat kota tidak begitu penting. Mereka hidup mandiri (dalam pemaknaan yang mereka yakini) dan tidak bergantung pada tetangga. Pragmatisme. Logika efektitas. Nalar fungsional. Konsep relasi. Prinsip-prinsip itu mungkin menjadi dasar kehidupan mereka. Jadi, meski hidup berdampingan jika tak ada kepentingan, tak ada relasi, dan tak saling membutuhkan, maka untuk apa saling kenal? Bukanlah hidup untuk saling mengisi, take and give? Kemudian, prinsip pertemananlah yang menjawabnya. Teman adalah orang yang mengerti kita dan ingin dimengerti oleh kita. Kita tahu apa yang dia inginkan, dia paham apa yang kita mau. Meski tidak hidup berdekatan secara geografis, teman hidup berdekatan dengan kita secara emosional dan relasional. Kata Bourdieu, the real is relational.

Tentu saja, prinsip pertemanan ala perkotaan ini tidak bisa dipraktekkan di desa yang masih sangat kukuh memegang adat ketetanggaan. Seseorang akan dianggap asosial jika ia tidak kenal dan mengenal tetangganya. Selain keluarga, tetangga adalah orang terdekat bagi orang-orang yang tinggal di desa. Dalam tradisi Islam, bahkan secara definitive disebutkan bahwa 40 rumah di sekitar rumah kita adalah tetangga kita. Hal ini akan mudah dipahami, reasonable, jika kita melihat struktur masyarakat Islam pada masa nabi. Mereka adalah masyarakat feudal yang memegang erat kesukuan, hidup berkelompok, berdasarkan garis keturunan, suku dan kabilah. Maka, sebuah pemukiman juga dibangun atas dasar kedekatan emosinal dan pertalian darah. Orang yang hidup di dekat kita adalah orang yang sudah sangat kita kenal, memiliki relasi dengan kita, bahkan dalam tataran genetik. Mereka adalah keluarga kita. Dalam masyarakat seperti ini, ketetanggaan menjadi sebuah kewajiban.

Di Madura ada juga istilah tanean lanjeng (halaman panjang) yang mencerminkan sebuah tradisi ketetanggaan berdasar pada keturunan, di mana sebuah keluarga terus membangun tempat tinggal untuk anak-anaknya tidak jauh dari rumah asal orang tuanya. Lalu cucunya. Lalu cicitnya. Di Sumenep, konon, bahkan ada tanean lanjeng yang berisi enam belas rumah berbaris. Jika satu rumah mewakili sebuah keturunan, maka berapa generasi yang telah tertata dalam tanean lanjeng tersebut? Dalam komunitas seperti ini, ketetanggan menjadi sebuah keniscayaan. Tentu saja prinsip pertemanan naturally ada di sini.

Ketetanggaan dan pertemanan adalah sesuatu yang bisa didefinisikan secara terpisah. Yang pertama lebih bersifat georafis, dan kedua lebih bersifat emosional dan relasional. Bergantung di mana kita hidup, dua hal di atas selayaknya kita perhatikan. Meski demikian, secara umum, tetangga kita adalah teman kita dan tidak sebaliknya.

Jumat, 24 April 2009

taman kota

Berjalan-jalan di Azalea Garden Philadelphia, saya seringat perbincangan ringan dengan mas Toni di suata malam di Tasker Street. Ini soal taman kota. Soal public space.

Hari itu musim semi sudah berjalan beberapa pekan. Orang-orang sudah berpakaian tipis, bahkan beberapa hari ini sudah “kepanasan”. Di taman-taman kota Philadephia, orang-orang sudah mulai berjemur dan mandi air mancur. Cerita Mas Toni, di Jakarta dia sering berdiskusi soal taman kota dan kurangnya ruang publik bersama teman-teman arsiteknya. Kesimpulan mereka, pemerintah kurang memerhatikan kebutuhan publik terkait dengan udara bersih, taman, dan sarana umum lainnya. Pemerintah seharusnya tidak mengesampingkan hal ini! Tangan mereka terkepal. Semangat mereka menggelora. Tapi di akhir diskusi, salah seorang nyeletuk: “Ngapain sih bicara soal taman kota dan public space, wong kalian sendiri kalo weekend ke mall…!” Lalu mereka pun tertawa. Mungkin menertawakan ironi, mungkin menertawakan kegetiran.

Berbeda dengan Jakarta, taman-taman kota di Philadelphia sangat terawat. Tiap pergantian musim semi, tanahnya disiangi, dibersihkan dan bunga-bunga baru ditanam: Tulip, Daffodil, Melati dan lainnya. Membandingkan taman-taman kota di Amerika dengan taman kota di Indonesia jelas sangat jauh berbeda. Tidak hanya Jakarta. Sebagian besar kota di Indonesia tidak memiliki taman kota yang memadai.

Philadelphia saja yang merupakan kota kecil memiliki lebih dari 12 taman kota yang tersebar di sudut-sudut kota. Ini tidak termasuk taman-taman kecil yang dikelola oleh neighborhood. Taman terbesar di Philadelphia adalah Fairmount Park, seluas 9.200 acres (=0.4646 ha) atau 10 persen dari luas wilayah Philadelphia.

Di tengah-tengah kota New York, yang dianggap sebagai kota paling crowded dan paling padat di Amerika, Central Park menjadi penjaga dan lumbung udara bersih dengan area seluas 843 acres dan menampung lebih dari 26.000 pohon. Begitu juga dengan Washington DC. Ibukota Amerika ini sangat kaya dengan pepohonan dan taman bunga. Kawasan wisata sejarah dan sekitar Telaga Tidal bisa dianggap sebagai taman pusat kota ini. Lihat juga lapangan rumput sepanjang taman dari Capitol Hill ke White House. Bisa dikatakan, tata kota Washington adalah tata kota wisata yang memanjakan pengunjung untuk menikmati sejarah peninggalan masa lalu dan merasakan kenyamanan masa sekarang.

Di Singapore, salah satu sampel negara maju di Asia Tenggara, taman kota adalah bagian yang tidak terpisahkan dari tata lingkungan. Spore Botanical Garden yang terletak di tengah kota adalah salah satu contoh keseriusan pemerintahnya menjaga kelestarian alam dan lingkungan. Ada keseimbangan. Laju pembangunan fisik dan gedung-gedung tinggi tidak lalu menafikan kesadaran akan lingkungan. Ecological consciousness.

Di tengah-tengah kota yang sibuk, lalu lintas yang macet, orang-orang masih bisa berbaring dengan nyaman, menggelar tikar, berjemur, atau sekedar menikmati senja bersama keluarga. Di Philadelphia itu bisa dilakukan. Apakah di Jakarta bisa?
Kesadaran ekologis sangat berperan di sini. Ketika masyarakat bumi merasakan bersama dampak pemanasan global, maka kesadaran—sekecil apapun—tentang penghijauan dan udara yang bersih menjadi sangat penting.

Saya jadi teringat ketika tahun 1999 saya berpelesir ke Bogor: ingin menikmati kekayaan jenis pohon, menikmati bunga, sekaligus berbaring dengan nyaman di padang rumput. Indah benar kebun raya Bogor itu. Di tengah kota pula. Tapi saya tak bisa menikmati keindahannya. Sebentar-sebentar datang pengamen, sebentar-sebentar datang penjual permen, sebentar-sebentar….

Ah, kapan sebentar-sebentar itu tak ada lagi?

Philadelphia, 4/24/2009

Rabu, 15 April 2009

emang Allah nggak sampe ke Amerika?

Sebut saja namanya Bram. Dia sudah lama bekerja di Philadelphia. Tahun-tahun pertama tiba di Philadelphia, Bram menyewa sebuah apartemen dan tinggal bersama rekan-rekannya. Penghuni dalam satu apartemen bisa mencapai 10 orang, bahkan lebih. Sejak awal Bram sudah merasa ada sesuatu yang tidak nyaman dan kurang cocok tinggal bersama rekan-rekannya. Ini terkait dengan attitude, religiusitas dan spiritualitas. Ia sadar, ia bukan seorang yang sangat taat beragama tapi ia masih berusaha memegang prinsip dasar ajaran agamanya, Islam.

Bram bercerita tentang teman-teman seapartemennya yang kurang memerdulikan lagi ajaran-ajaran agama. Ia tahu, mereka berasal dari keyakinan yang sama dengan dirinya. Bahkan mereka berasal dari etnik yang dikenal taat beragama di Indonesia. Tapi kenapa mereka menjadi berubah di Amerika? Apakah gemerlap cahaya modernitas telah membuat pola pikir dan orientasi hidup mereka berubah? Apakah materialisme telah berkecambah lebat dalam dir mereka dan spiritualism telah mati?

Mereka biasa melakukan judi, tutur Bram, misalnya dengan bermain kartu antar teman, pesta minuman keras dan kumpul kebo. Amerika memang negara bebas, demokratis, dan individualis. Orang bisa melakukan apa saja yang dia mau, dan tak ada hak orang lain mencampuri sesuatu yang bukan urusannya. You are free here!

Mungkin, kebebasan inilah yang melenakan orang-orang itu.

Bram mengaku, karena kondisi tersebut, ia menjadi teralienasi, atau meng-alienasi diri dari orang-orang itu. “Kalo Cuma mau menghalalkan apa yang diharamkan Tuhan, atau mengharamkan apa yang dihalalkanNya, bisa saja aku lakukan. Gampang! It’s easy! Aku sudah kenal lama dengan dunia begituan, pernah bekerja di Bar, tapi aku tidak minum! Aku tidak mau…!”

Masih cerita Bram, di Amerika banyak orang yang mengejar citizenship dengan cara kawin dengan warga Negara asli. Mudah bukan? Tapi coba kamu bayangkan, bagaimana proses pernikahan itu? Apakah ada orang Amerika yang mau melakukannya seperti di Indonesia? Kenalan, lalu komitmen, lalu nikah? Dunia di sini adalah hutan belukar pergaulan bebas. Seks dulu, man! Cocok? Lanjut. Tidak cocok? No way. It means: to get marriage with the American citizen is to do pre-marital sex. Atau dalam bahasa agamisnya: berzinah. Tentu, tidak semua kasus. Meski begitulah gambaran umumnya.

“Lain soal kalau keduanya ketemu di masjid…” kata Bram sambil senyum-senyum. “Aku juga tidak mengerti. Seakan mereka hidup di dunia lain, dan mereka memiliki kehidupan yang berbeda seratus persen dengan Indonesia. Emang Allah nggak sampe ke Amerika!?”

Fenomena seperti inilah yang melecut dia dan kawan-kawan untuk membentuk pusat kegiatan Islam: sebuah masjid.

Berangkat dari semacam keprihatinan di atas, Bram dan teman-teman berinisiatif untuk membentuk pusat kegiatan bagi komunitas muslim Indonesia di Philadelphia. Kini, mereka telah memiliki bangunan sendiri, sebuah masjid yang terletak di 17 Street South Philadelphia: Al-Falah namanya. Saat ini, setiap minggu Al-Falah mengadakan kegiatan rutin berupa pengajian ilmu agama dan belajar membaca al-Qur’an.

Bram hanya berharap, keberadaan masjid Al-Falah bisa menjadi motivator dan reminder untuk dirinya dan teman-temannya yang ada di Philadelphia: bahwa keber-agama-an sejatinya tidak luntur karena peralihan musim, perubahan tempat tinggal, atau persinggungan dengan budaya lain. Pelan tapi pasti, Bram yakin bahwa masjid ini akan sangat meaningful bagi komunitas muslim Indonesia di Philadelphia, dan Amerika pada umumnya.

Minggu, 12 April 2009

Ibarat DPR!

Benar kata Bang Veda: aku tak sendiri di Philadelphia. Bang Veda mengatakan itu saat kami sedang menyusuri Broad Street, jalan utama yang membelah wilayah timur dan barat kota Philadelphia. Broad Street adalah jalan panjang utara-selatan Philadelphia yang berujung dari jalan W. Cheltenham Avenue di utara dan bermuara di jalan layang Delaware Expy di ujung selatan. Mobil Honda Odyssey yang kami tumpangi penuh: Bang Veda sekeluarga, Mas Munjid sekeluarga, dan aku yang masih belum berkeluarga.

Di Philadelphia, aku memang tak pernah merasa sendiri. Lebih dari 5000 orang Indonesia, baik yang sudah permanent-resident atau yang immigrant, tinggal di Philadelphia. Mereka tersebar di seluruh wilayah Philadelphia dan mayoritas tinggal di North Philadelphia. Sejak pertama kedatanganku di bandara Philadelphia aku sudah disambut oleh teman-teman dari Indonesia: Mas Rofiq—mahasiswa doctoral di Temple University—dan Mbak Hani—orang Indonesia yang sudah mengantongi citizenship Amerika.

Kondisi saat ini berbeda dengan cerita Mas Munjid enam tahun yang lalu, ketika ia pertama kali sampai di Philadelphia. Tak satu pun orang Indonesia yang dia kenal. Lebih dari satu pekan ia tak makan nasi. Tak satu pun orang Indonesia dia kenal. Hingga akhirnya ia mulai bisa mengenali lingkungan dan tahu di mana ia bisa menemukan nasi.

Mayoritas orang Indonesia yang tinggal di Philadelphia, dan Amerika pada umumnya, adalah pekerja migran ilegal (illegal migrant workers). Mereka datang ke Amerika dengan visa turis atau visa pelajar, lalu mereka lanjutkan dengan tinggal untuk bekerja. Tidak kembali ke Indonesia. Rata-rata, mereka akan tinggal di Amerika lebih dari 5 tahun. Tindakan illegal ini disadari oleh mereka dan mereka tahu resikonya. Tapi mereka sudah sangat faham lika-liku dan bagaimana hidup sebagai pekerja asing yang undocumented. Konsekuensinya, mereka akan masuk dalam daftar black-list pemerintah Amerika, dan sekali pulang ke Indonesia, mereka tidak akan bisa kembali ke Amerika. Kecuali dengan memalsukan identitas diri dari A samapi Z.

Bukan berarti tak ada orang Indonesia yang bekerja sebagai pekerja resmi di Amerika. Ada juga para pekerja legal yang datang ke Amerika dengan visa pekerja, tapi jumlah mereka sangat sedikit dibandingkan dengan pekerja migrant yang undocumented.

Sebenarnya, pekerja migran tidak resmi ini bukan hanya berasal dari Indonesia. Ada jutaan orang yang datang ke Amerika dan bekerja dengan status undocumented: dari Cina, Meksiko, Pakistan, Brasil, dan lainnya. Mereka tersebar di berbagai Negara bagian Amerika Serikat. Orang-orang Indonesia hanya mengisi sedikit ruang dari kebutuhan tenagakerja di Amerika. Para pekerja undocumented ini menjadi alternative dan diinginkan oleh beberapa perusahan, pabrik, atau restoran, karena upah mereka lebih rendah dari pekerja resmi. Mereka tidak asuransi kesehatan, advokasi hokum, atau tunjangan layaknya para pekerja resmi. Agensi (penyalur tenaga kerja, termasuk mereka yang undocumented) menjadi salah satu pihak yang paling berperan dalam lalu lintas para pekerja undocumented ini.

Menurut Syarif, salah seorang pekerja yang sudah tujuh tahun di Philadelphia, biasanya para pekerja masuk ke Amerika dengan dua jalur visa: turis dan “pelajar”. Visa “pelajar” akan diurus oleh agensi, hanya untuk mendapatkan visa masuk, dan selanjutnya mereka akan bekerja selama di Amerika. Tentu, semua proses ini membutuhkan biaya yang tidak murah. Rata-rata, orang yang akan pergi ke Amerika menyediakan minimal 50 juta Rupiah, ditambah dengan transportasi berkisar 10-20 juta.

Tidak heran, jika bukan sembarang orang yang datang ke Amerika. Prosesnya sulit, dan modal awalnya besar. Meski demikian, modal awal yang besar ini bukanlah hal yang memberatkan jika mereka telah berada di Amerika. Pada umumnya, modal awal itu akan kembali dalam hitungan 6 bulan: sebab rata-rata pekerja undocumented bisa memperoleh upah bersih US$ 1000 per bulan. Sebuah angka yang sangat besar untuk ukuran standar gaji Indonesia.

Menyinggung soal gaji, Syarif berkata begini: “Di sini, gaji para pekerja ibarat gaji direktur bank di Indonesia. Ya, katakanlah, mereka itu bekerja di sini mirip dengan DPR di Indonesia. Lima tahun kerja, dengan gaji besar, lalu pulang. Dengan konsekuensi, tidak bisa kembali lagi ke Amerika. Masa DPR kan juga lima tahun.” Lalu ia tertawa.

Syarif benar. Dengan gaji sebesar itu, bekerja selama lima tahun di Amerika, seorang pekerja bisa menabung banyak uang lalu kembali ke Indonesia dan menjadikannya sebagai modal usaha. Minimnya lowongan dan lapangan kerja di Indonesia salah satunya juga disebabkan kurangnya modal usaha. Terkadang modal menjadi media yang paling menentukan untuk mewujudkan kreativitas. Bukankah kesadaran ini juga diamini pemerintah Indonesia dengan memberikan bantuan kepada UKM?

Gaji yang besar ini membuat kehidupan para pekerja migran Indonesia di sini berbeda dengan, misalnya kehidupan tenaga kerja migrant di Malaysia. Para pekerja di sini hidup layaknya resident, penduduk asli Amerika: mereka menyewa atau memiliki apartemen, memiliki mobil, dan melakukan kegiatan di luar rumah tanpa harus takut adanya razia atau bertemu dengan polisi imigrasi. “Di sini tidak ada pemeriksaan paspor di jalan. Tidak seperti di Malaysia, Jepang, atau Negara lainnya. Kecuali kita melakukan kesalahan, lalu diminta surat identitas dan terbukti izin tinggal kita telah lewat, maka datanglah pihak imigrasi,” begitu Syarif menjelaskan.

Tentu saja, nasib para pekerja undocumented di sini tak bisa dibandingkan dengan nasib para pekerja undocumented di Malaysia. Di Negeri Jiran itu, sebagian pekerja Indonesia harus bermain petak umpet dengan polisi imigrasi, hidup di kongsi (penampungan), bahkan harus rela tidur di hutan pada malam hari untuk menhindari razia polisi. Sungguh kehidupan yang kontras.

“Wajar, sebab tingkat kesulitan masuk dan besarnya biaya untuk bekerja ke Amerika jauh lebih mahal daripada bekerja di Malaysia. Tidak bisa dibandingkan,” kata Syarif.