Minggu, 10 Mei 2009

pertemanan versus ketetanggaan

Mendengar perkataan John Raines, saya merasa menemukan jawaban atas individualisme yang selama ini disematkan sebagai sebuah imej kepada orang-orang Barat. Suatu ketika di kelas Post-colonialism, Pak Raines berkata, “Kita lebih cenderung untuk tidak merasa memiliki neighborhood (ketetanggaan), dan lebih sering hidup dengan friendship (pertemanan).” Memang, saat mengatakan itu John Raines tidak sedang menjelaskan orang-orang Barat. Tapi saya langsung teringat imej yang selama ini saya dengar bahwa orang-orang Barat cenderung individualis dan nafsi-nafsi.

Statemen di atas mencerahkan. Kita tahu, berbeda dengan kehidupan di desa, ketetanggaan di masyarakat kota tidak begitu penting. Mereka hidup mandiri (dalam pemaknaan yang mereka yakini) dan tidak bergantung pada tetangga. Pragmatisme. Logika efektitas. Nalar fungsional. Konsep relasi. Prinsip-prinsip itu mungkin menjadi dasar kehidupan mereka. Jadi, meski hidup berdampingan jika tak ada kepentingan, tak ada relasi, dan tak saling membutuhkan, maka untuk apa saling kenal? Bukanlah hidup untuk saling mengisi, take and give? Kemudian, prinsip pertemananlah yang menjawabnya. Teman adalah orang yang mengerti kita dan ingin dimengerti oleh kita. Kita tahu apa yang dia inginkan, dia paham apa yang kita mau. Meski tidak hidup berdekatan secara geografis, teman hidup berdekatan dengan kita secara emosional dan relasional. Kata Bourdieu, the real is relational.

Tentu saja, prinsip pertemanan ala perkotaan ini tidak bisa dipraktekkan di desa yang masih sangat kukuh memegang adat ketetanggaan. Seseorang akan dianggap asosial jika ia tidak kenal dan mengenal tetangganya. Selain keluarga, tetangga adalah orang terdekat bagi orang-orang yang tinggal di desa. Dalam tradisi Islam, bahkan secara definitive disebutkan bahwa 40 rumah di sekitar rumah kita adalah tetangga kita. Hal ini akan mudah dipahami, reasonable, jika kita melihat struktur masyarakat Islam pada masa nabi. Mereka adalah masyarakat feudal yang memegang erat kesukuan, hidup berkelompok, berdasarkan garis keturunan, suku dan kabilah. Maka, sebuah pemukiman juga dibangun atas dasar kedekatan emosinal dan pertalian darah. Orang yang hidup di dekat kita adalah orang yang sudah sangat kita kenal, memiliki relasi dengan kita, bahkan dalam tataran genetik. Mereka adalah keluarga kita. Dalam masyarakat seperti ini, ketetanggaan menjadi sebuah kewajiban.

Di Madura ada juga istilah tanean lanjeng (halaman panjang) yang mencerminkan sebuah tradisi ketetanggaan berdasar pada keturunan, di mana sebuah keluarga terus membangun tempat tinggal untuk anak-anaknya tidak jauh dari rumah asal orang tuanya. Lalu cucunya. Lalu cicitnya. Di Sumenep, konon, bahkan ada tanean lanjeng yang berisi enam belas rumah berbaris. Jika satu rumah mewakili sebuah keturunan, maka berapa generasi yang telah tertata dalam tanean lanjeng tersebut? Dalam komunitas seperti ini, ketetanggan menjadi sebuah keniscayaan. Tentu saja prinsip pertemanan naturally ada di sini.

Ketetanggaan dan pertemanan adalah sesuatu yang bisa didefinisikan secara terpisah. Yang pertama lebih bersifat georafis, dan kedua lebih bersifat emosional dan relasional. Bergantung di mana kita hidup, dua hal di atas selayaknya kita perhatikan. Meski demikian, secara umum, tetangga kita adalah teman kita dan tidak sebaliknya.