Kamis, 04 Juni 2009

setiap kali melihat willy

Setiap kali melihat Willy saya selalu teringat sesi perkenalan pertamanya di kelas Agama-agama Afrika (African Religions). Katanya, “Sepertinya saya adalah yang tertua di kelas ini…” Kami semua tertawa.

Willy benar. Ia sudah berumur 60 tahun lebih: sebuah usia yang tak lagi muda untuk masih dengan semangat pergi kuliah dan belajar di ruang perkuliahan. Usia Dr. Terry Rey, dosen mata kuliah Agama-agama Afrika yang kami kaji, bahkan tidak sampai 60 tahun.

Pada sosok Willy inilah saya menemukan representasi hadits (atau pepatah Arab?) yang sudah lama saya hafal, uthlub al-‘ilma min al-mahd ila al-lahd (carilah ilmu sejak lahir hingga terkubur liang lahat). Di Indonesia, fenomena Willy jarang kita temukan. Kampus adalah “tempat bermain” orang-orang muda. Orang yang sudah lanjut usia, biasanya memilih untuk diam di rumah, menikmati usia senja bersama keluarga. Pendidikan adalah milik orang muda. Tak jarang kita dengar, “Carilah ilmu mumpung masih muda.” Apakah dengan kata lain ungkapan itu ingin mengatakan, nanti kalau sudah tua kamu tidak bisa lagi menuntut ilmu? Ataukah sekadar mengingatkan bahwa waktu kita untuk mencari ilmu di usia tua nanti tak sebanyak waktu muda? Tergantung bagaimana kita melihatnya.

Dan Willy bukan hanya pendengar di kelas. Dia memang sudah tua, mantan pengusaha (businessman), tapi dia memiliki semangat belajar dan analisis yang terus ia muda-kan. Willy tak jarang menjadi rujukan saat diskusi kita mengarah kepada persoalan ekonomi. Bukan karena ia yang tertua, tetapi lebih karena representasi dia sebagai businessman. Ini juga salah satu pelajaran: intelektualitas tidak memihak usia tertentu. Ia berdasar pada data, pengetahuan, analisa dan penalaran logika.

Meski Willy adalah orang tertua, tapi Dr. Terry Rey tak memosisikan dia sebagai “orang tua”. Kami sama: duduk di ruang yang sama, membaca diktat dan tema yang sama, mendengarkan kuliah yang sama, meski berangkat dengan motivasi, niat, dan kemampuan mencerna yang berbeda. Ilmu (dalam maknanya sebagai proses dan hasil) memang tak mengenal usia.

Pada sosok Willy saya juga temukan kesederhanaan. Dia tetap pulang pergi kuliah dengan naik bus atau subway. Setiap usai kuliah, saya akan melihat dia mengeluarkan travel-map, melihat jadwal bus, lalu bergegas pulang. Bahkan seorang professor seperti John Raines—penulis Marx on Religion—tak “malu” untuk naik bus kampus bersama mahasiswa-mahasiswa. Ini memang bukan soal yang luar biasa. Tapi akan tampak luar biasa saat disandingkan dengan hedonisme ala sebagian mahasiswa Temple University yang pergi-pulang kampus dengan mobil mewah, dandanan modis dan gaya tubuh yang gaul. Padahal ilmu tidak pernah tertarik dengan style. Ilmu pengetahuan hanya akan bersanding seiring dengan ketekunan, kecerdasan, dan hope.

Philadelphia, 4/6/2009