Senin, 06 Oktober 2008

indonesia di singapore

Hari itu saya pergi ke Perpustakaan Nasional Singapore yang terletak tak jauh dari Bugiss Junction. Perpustakaan utamanya terletak di lantai dasar dan memuat banyak buku bertema sastra, novel dewasa-mereka menyebutnya adult novel, bacaan remaja, bacaan anak-anak, koran, dan majalah. Ada juga sebuah pojok berisi buku-buku dengan tulisan Cina. Sepertinya juga bacaan populer.

Dari lantai dasar itu, ruang perpustakaan langsung naik ke lantai 7. Lantai 2, 3, 4, 5, dan 6 adalah ruang teather dan perkantoran. Lantai 7 berisi buku-buku social science, philosophy, economy, religion, humanities, ect. Di lantai 8 berisi buku tentang art, painting, photography, etc. Di lantai 9, secara umum terbagi dalam tiga bagian, buku-buku Cina hampir 60 persen, buku berbahasa Melayu dan India masing-masing berbagi 20 persen.

Perpustakaan Nasional terhubung dengan perpustakaan-perpustakaan daerah. Di Singapore, setiap distrik memiliki perpustakaan. Di Choa Chu Kang, misalnya, perpustakaannya terletak di pusat belanja lantai 3. Tak semua orang yang ke mall bermaksud belanja. Di antara mereka banyak yang perpustakaan. Ada beberapa buku yang tak ada di Perpustakaan Nasional bisa dicari di perpustakaan daerah. Kita bisa mengetahuinya, semuanya, dari search engine di perpustakaan pusat.

Saya pun berkelana dengan mesin itu. Saya ingin tahu berapa banyak koleksi buku-buku bertemakan Indonesia yang dimiliki perpustakaan ini. Hasilnya menakjubkan: 15.562 item! Tentu tak semua buku itu membahas Indonesia sebagai tema sentral, tapi kontennya jelas berisi, minimal, Indoneisa.

Lalu Islam? 12.492 item!

Religion? 5.741 buah.

Tak lupa saya tulis "Madura". Hasilnya, ada 109 item buku mereka miliki, termasuk buku kecil yang diterbitkan oleh DIVA Press, sebuah penerbit Yogyakarta yang tak banyak dikenal oleh orang Indonesia sendiri. Judulnya, “Orang Madura Tak Mati Lagi”, terbit tahun 2003.

Spore, 10 July 2008

Jumat, 25 Juli 2008

stereotipe orang madura

Dalam pengantar bukunya, Jembatan Suramadu: Respon Ulama Terhadap Industrialisasi, Muthmainnah (1998) punya cerita. Agustus 1990, saat ia mengenalkan diri sebagai orang Madura, teman-temannya heran. Tubuhnya kecil dan kulitnya putih. Adiknya dijuluki “orang Jawa” oleh teman-temannya karena ia tidak pernah marah. Pada saat itu, Muthmainnah berpikir: apa yang ada dalam benak mereka tentang tipikal orang Madura? Di benak mereka, mungkin, telah tertanam sebuah imaji: orang-orang Madura berkulit hitam, tinggi besar, temperamental, keras, dan gaya bicaranya kasar.

Saya juga orang Madura dan juga punya cerita. Februari 2007. Teman satu kos saya, seorang Jawa, menyatakan keheranannya. Saya dianggap tak sesuai dengan imaji dia tentang sosok seorang Madura. Apalagi, saya tidak memiliki atribut, yang bagi dia, seharusnya dimiliki oleh orang Madura. Dia bilang, “Kok di kamarmu nggak ada celurit?” Ia berkata begitu di tahun 2007!

Sudah lebih dari 132 tahun saat Wop (1866) menulis tentang karakter orang-orang Madura. Kini, imaji negatif itu masih melekat. Itu hanya stereotipe, kata Huub De Jonge. Gambaran tidak elok semacam itu telah ada sejak zaman kolonialisme, bahkan mungkin jauh sebelumnya. Kajian etnografis-lah yang telah menyuburkan dan menjadikannya “imaji massal” atas orang Madura. Stereotipe, lanjut de Jonge, bukan persoalan benar atau salah, namun ia bisa membentuk pola interaksi dan mempengaruhi intimasi sebuah hubungan sosial. Simak apa yang ditulis para ilmuwan Belanda tentang orang Madura pada paruh akhir abad 19 dan paruh awal abad 20.

: Orang Madura itu lebih tidak sopan dibandingkan dengan orang Jawa, lebih tidak resmi. Gaya bicaranya kasar, keras, dan sangat ekspresif. (Van Gelder, 1899: 577)

: Dia, yang seorang Jawa, melihat dirinya lebih baik dan memandang rendah temannya dari Madura. Dia menjuluki temannya itu sebagai “orang pedis” (hothead), mudah marah, dan orang Jawa itu memilih untuk tidak bergaul dengannya. (Van der Linden, 1931)

: Rumah mereka sangat kotor: interior dan halaman rumahnya. Tidak sebersih rumah orang Jawa atau Sunda. (Van Gennep, 1895: 278)

: Sungguh, orang-orang Madura itu bicaranya kasar, tidak sopan, mirip dengan orang-orang Bugis dan Nias. (Wop, 1866: 292)

Ketika orang-orang Madura dibandingkan dengan etnik lain, maka yang muncul adalah inferioritas. Dan sebagai etnik yang paling dekat secara kultur dan geografis, Jawa adalah “lawan banding” yang selalu dikutip. Seperti perbandingan antara orang-orang Zeeland dan Holland. Begitu rendahkah peradaban orang-orang Madura dibanding dengan peradaban etnis lainnya?

Di akhir buku Catatan Pinggir di Tiang Pancang Suramadu, Agus Afandi dkk. (2005) menulis 11 cerita yang mereka alami selama penelitian di sebuah desa di bagian barat Bangkalan. Hampir semua cerita itu memuat kondisi yang memprihatinkan tentang orang dan lingkungan Madura. Jika dibandingkan, secara substantif, cerita-cerita itu tak jauh beda dengan ulasan etnografis peneliti-peneliti Belanda dua abad yang silam.

Intinya: orang-orang Madura masih terbelakang dan uncivilized.

Apakah Madura (dan orang-orangnya) tidak berubah dari masa ke masa? Apakah stereotipe di atas masih terus berlanjut?

Saya rasa, seperti juga yang de Jonge tulis, stereotipe negatif tentang orang Madura masih sangat kuat mengakar di benak orang-orang non-Madura. Selain diperkuat oleh banyaknya teks-teks social saintik yang membicarakannya, hal itu juga berkecambah dari pola interaksi sehari-hari yang juga telah terpola dari imaji tekstual di atas. Begitu juga sebaliknya.

Tidak jauh berbeda dengan “nasib” orang-orang Madura, di Eropa, orang-orang Belanda memiliki stereotipe tersendiri yang menjadikannya sebagai confiscated people.

Iseas, Spore, July 2008