Sabtu, 22 Juni 2002

benturan peradaban

:tulisan ini adalah bekal diskusi di Wisma Nusantara bersama rekan-rekan kerja buletin Informatika, ICMI Orsat Cairo, Juni 2002. saya merilisnya tanpa mengubah apapun. judul aslinya seperti di bawah ini:


THE CLASH OF CIVILIZATION[1]

Kritik ‘Abid Al-Jabiri[2] Terhadap Samuel Huntington[3]

Membicarakan ramalan “Benturan Peradaban” yang dilontakan Samuel Huntington, saat ini mungkin sudah kurang greget dan aktual. Tapi, saya rasa tidak ada salahnya kalau kita mendiskusikannya kembali sebagai motivasi dan “amunisi” menuju pemahaman yang komprehensif tentang hal tersebut. Lebih mengkrucut, saya mengajak anda untuk mengenal lebih dekat kritik Dr. Mohammad ‘Abid Al-Jabiri terhadap masalah tersebut.

Sejak awal, sikap dan tinjauan Al-Jabiry terhadap apa yang ditulis Huntington dipandang sangat “hati-hati” dan penuh kecurigaan. Ia mellihat tesis “Benturan Peradaban”nya Huntington sarat dengan maksud-maksud politik dan difloorkan hanya untuk kepentingan kelompok atau lembaga di mana Huntington bekerja (Lembaga Kajian Strategis Militer USA). Maka selanjutnya bisa dipahami, apa yang ditulis Al-Jabiry--sebagai counter balik dari tesis tersebut--kebanyakan (bila tidak mau dikatakan Semuanya) berupa upaya memotong dan mematahkan tesis tersebut.

Ada beberapa hal yang ingin saya diskusikan di sini, yang kebanyakan hanya berupa “kulit luar” dari polemik dualistik Al-Jabiry-Huntington ini. Dan hal ini hanya bertumpu pada mendiskripsikan “serangan” sepihak Al-Jabiry terhadap Huntington dengan karya monumentalnya “Benturan Peradaban”.

Trend Ataukah Isu?

Pertanyaan di atas berangkat dari "kecemburuan" Al-Jabiry terhadap respon yang berlebihan dari berbagai pihak pada lontaran ide "Benturan Peradaban" yang dibawa Huntington. Dalam kacamata Al-Jabiry, seharusnya--minimal menurut dia pribadi--yang menjadi topik utama kajian para intelektual pada saat itu (era 90-an) adalah runtuhnya komunisme yang dipegang oleh Uni Soviet di bawah kepemimpinan Gorbachiev.

Sejak satu setengah abad yang lalu, Marxisme sebagai sebuah aliran pemikiran--juga komunisme sebagai ideologi dan partai--telah berhasil mewarnai dunia dan memberikan corak tersendiri dalam gerakannya. Marxisme mampu membangun pondasi-pondasi yang kokoh dalam retorika pemikiran, serta memberikan dampak yang signifikan dalam banyak kebijakan negara dunia. Ada dua bukti sejarah yang menguatkan hal tersebut; Revolusi Rusia pada bulan Oktober 1917 di bawah komando Lenin dan Revolusi Cina (1948) yang diketuai oleh Mao Zedong.

Dari dua bukti sejarah di atas, bisa kita lihat betapa komunisme telah menjadi wacana internasional lebih dari satu setengah abad lamanya. Maka, ketika faham (dan gerakan) itu runtuh, seharusnya hal tersebut mendapat perhatian dan menjadi kajian utama penelitian para intelektual dan pemikir dunia. Namun kenyataan berbicara lain.

Pertanyan selanjutnya adalah: Apa yang melatarbelakangi tesis tersebut, sehingga menjadi kajian utama para intelektual? Al-Jabiry mengemukakan dua alasan mendasar akan hal tersebut. Pertama, Hal itu tidak lepas dari keberadaan pusat kajian strategis yang berada di belakang Huntington. Kedua, alasan politik dan kepentingan (militer) saat itu. Kedua alasan tersebut telah mampu juga untuk membendung dan membenamkan tesis "The End of History" yang dimunculkan oleh Fukuyama sebelumnya, sebagai sasaran tembak.

Bagi Al-Jabiry, tulisan Huntington--yang pada awalnya hanya berupa makalah--tidak lebih dari tulisan biasa yang penuh dengan kesalahan-kesalahan di sana sini[4]. Apa yang dilontarkan Huntington--bila dilihat dari kacamata ilmiyah--hanyalah merupakan isu yang belum jelas realitanya. Tapi, hal itu bisa jadi adalah sebuah trend, bila kita kaji dari segi strategi politik, militer dan budaya.

Mendebat Definisi

Selama ini, perbincangan tentang peradaban terkadang mentok pada dataran definisi, karena adanya kesamaan definitif antara peradaban dengan budaya dalam satu sisi. Al-Jabiry juga mempertanyakan hakikat peradaban yang dimaksud Huntington dalam tesisnya tersebut. Dalam edisi terjemahan, Huntington mengatakan bahwa peradaban adalah "Identitas budaya" (Huwiyyah Tsaqafiyah). Definisi ini bisa kita pahami dengan benar, bila pemahaman kita terhadap "budaya" juga benar. Budaya--menurut Huntington--mengandung banyak unsur; pemikiran, tradisi, ekonomi, pertumbuhan, dan sebagainya.

Yang dipermasalahkan Al-Jabiry, Huntington pada kesempatan yang lain menulis bahwa peradaban adalah "Entitas tertinggi dari akumulasi budaya". Dari definisi terakhir ini, Huntington tidak memberikan batasan apapun terhadap peradaban (hadlarah). Huntington memberikan pada kita dua definisi yang yang tidak ada garis temu antara keduanya. Satu sisi ia mengatakan peradaban sebagai ideologi, tradisi dan nilai-nilai yang dimiliki satu kelompok masyarakat, di sisi lain ia menyimpulkan bahwa peradaban adalah tataran akumulatif dari elemen-elemen tersebut. Hal ini--kata Al-Jabiry--dimaksudkan untuk mencapai tujuan "militerisasi peradaban"[5], menganalogikan gerak peradaban dengan sejarah militer yang bersifat gradual atau bertingkat; dari pertempuran yang kecil, menengah dan berujung pada yang besar. Peradaban--dilihat dari konteks militer--akan mengalami hal serupa. Maka, ujung-ujungnya, hanya peradaban yang "kuat" yang akan menang.

Ada tiga peradaban yang dipertentangkan dan--menurut Huntington--akan bertarung di arena puncak; Barat, Cina dan Islam. Tapi, karena pada realitanya baratlah yang menjadi "penguasa" dan memegang hegemoni dunia, pertempuran selanjutnya menjadi; barat vs Cina dan Islam! Kesimpulan terakhir yang ia kemukakan ini diperoleh setelah menyaring beberapa peradaban yang diklasifikasikan Toynbee dalam 12 kelompok. Kemudian bisa kita tebak, Huntington cenderung untuk "mengajak" peradaban Cina dan Islam agar "menyatu" ke dalam peradaban Barat sebagai peradaban yang hegemonik, dan menjadikannya sebagai peradaban tunggal dunia. Hal itu ia lakukan dengan menawarkan satu solusi: "Dialog Peradaban" (Hiwar al-Tsaqafat).

Dialog Kepentingan

Bagi Al-jabiry, dialog yang ditawarkan oleh Huntington sebagai solusi dari "Benturan Peradaban" hanyalah sebuah kamuflase yang dilontarkan untuk menutupi maksud sebenarnya: Mempertahankan kepentingan (Barat). Barat selama ini memandang Islam dan Cina sebagai "musuh utama" yang harus selalu diwaspadai, setelah keruntuhan komunisme. Kedua peradaban di atas dipandang Barat sebagai ancaman yang akan mampu merampas "estafet" kepemimpinan dunia dan hegemoni yang beberapa abad terakhir berada di tangan Barat.

Kalau kita mengaca pada sejarah, apa yang tersembunyi dari Barat, sebetulnya dan pada prinsipnya adalah satu kata: Kepentingan. Tidak penting apakah itu Islam atau bukan, Cina atau tidak, jika dirasa akan memotong garis kepentingan mereka, akan menjadi sasaran utama. Hal ini Sesuai dengan prinsip politik "Tidak ada musuh abadi, tidak ada teman sejati, hanya kepentingan abadi". Contoh sejarah, ketika komunisme menjadi musuh utama mereka, Islam dijadikan teman untuk sama-sama membasmi gerakan ideologis tersebut. Tapi setelah komunisme gagal, Islam menempati urutan awal dalam daftar musuh mereka. Dalam sejarah Cina, mereka menjadi musuh Barat selama mereka masih menjalin hubungan dengan Moskow. Ketika hubungan tersebut renggang, Barat mulai mendekati Cina dan menjalin hubungan yang "mesra", hingga duduk bersama dalam "Dewan Utama" PBB. Tapi setelah Uni Soviet jatuh, kembali Cina menjadi musuh dan dianggap sebagai "bahaya kuning"--seperti halnya Islam diangggap sebagai "bahaya hijau".

Untuk menetralisir hal di atas, Al-Jabiry merekomendasikan apa yang ia sebut sebagai "Dialog Kepentingan", karena pada hakikatnya masing-masing dari Barat, Cina dan Islam sama-sama punya kepentingan. Selama ini hubungan antara Barat dan Islam (serta dunia ketiga lainnya) tidak lebih dari hubungan "Raja-Budak". Sang raja (Barat) mempekerjakan budak karena ia sangat butuh tenaga dari mereka, dan sang budak merasa "diperas", walaupun ia juga membutuhkan sang raja. Maka, diperlukan keberanian dan semangat bersama dari "negara-negara budak" untuk melakukan reposisi dan rekonstruksi hubungan dengan Barat, agar terjadi upaya take and give yang seimbang.

Penutup
Disadari bahwa apa yang dikemukakan di atas terlalu sedikit untuk mengupas lebih jauh tentang isi dan tanggapan Al-Jabiry terhadap apa yang ditulis Huntington. Ini tidak lain karena keterbatasan penulis dalam memahami dan menerjemahkan pemikiran Al-Jabiry dalam hal ini, juga dikarenakan keengganan penulis untuk memasuki wacana dan polemik rumit yang ditulis Al-Jabiry sebagai tanggapan terhadap Huntington. Semoga yang sedikit ini bermanfaat. Amin.[6]


Catatan Akhir:
[1] Polemik tentang “Benturan Peradaban” mengemuka setelah tulisan Huntington dimuat di majalah Foreign Affairs, vol.72, no.03 1993. Wacana ini kemudian mendapat banyak respon dari berbagai kalangan intelektual, baik itu yang mendukung ataupun yang mengkritik terhadap tesis tersebut. Beberapa tahun kemudian, Huntington mengeluarkan buku dengan judul sama sebagai upaya “penjelasan” lebih lanjut dan mematangkan dalil-dalil dari tesis “The Clash of Civilization”—walaupun menurut Al-Jabiry, buku tersebut tidak banyak bedanya dengan makalahnya yang lalu dan tak banyak membantu.

[2] Lahir di Maroko, 1936. Meraih gelar Doktor Filsafat dari Fakultas Adab Rabath, sekaligus menjadi dosen di Fakultas terebut sejak 1967. Dikenal sebagai pemikir Islam dan Arab.

[3] Peneliti Pusat Kajian Strategis Militer USA, menjadi dosen terbang di beberapa Universitas.

[4] Al-Jabiry, M. 'Abid. Shadam al Hadlarah: Wahm am Qadliyah? Dalam “Qadlaya fi al Fikr al Mu'ashir”, Markaz Dirasat al Wahdah al 'Arabiyah cet. I Beirut 1997 hal.83.

[5] Istilah tersebut dari penulis, yaitu menyamakan evolusi peradaban dengan sejarah militer dan peperangan yang terjadi selama kehidupan manusia.

[6] Materi ini diambil dari serpihan-serpihan tulisan Al-Jabiry dalam bukunya “Qadlaya al Fikr al Mu’ashir” , Markaz Dirasat al Wahdah al 'Arabiyah cet. I Beirut 1997.