Senin, 09 Februari 2009

gadis irish dan psikologi agama

Gadis itu tersenyum aku pun tersenyum. Di ruang yang sama untuk kedua kalinya kami bersua. Tadi, pada jam pertama, di kelas Special Topics of African Religions yang diampu Prof. Terry rey, kami sebenarnya telah berkenalan. Tapi, terus terang, kini aku sudah lupa siapa namanya. Aku yakin dia pun takkan ingat namaku. Perkenalan perdana di kuliah pertama hanyalah formalitas: nama, dari mana, lulusan universitas apa, jurusan apa, kenapa tertarik dengan kelas ini, etc. Lalu diam-diam kami mengenali teman sekelas dengan bercakap-cakap setelah kelas usai. Tahukah kamu, bahkan saat kutulis tulisan ini aku kembali lupa akan namanya? Hah!

Mata kuliah kedua hari ini Post-Colonialism and Post-Modernism. Prof. John Raines, penulis buku Marx on Religion, adalah dosen tetap untuk mata kuliah ini. Di awal perkenalan Raines mengatakan, “Aku bekerja di sini, sekarang dan untuk selamanya.” Mungkin dia bercanda, tapi mungkin dia sedang mengungkapkan loyalitas dan keinginannya untuk terus mengajar dan berada di Department of Religion Temple University.

Lalu di jeda jam kami bicara. Di sinilah aku tahu bahwa gadis itu sedang menekuni Psychology of Religion. Istilah ini, bagiku, kurang tepat. Sebab yang dipelajari tentulah psikologi para pemeluk agama, dan bukan agama sebagai sebuah ajaran, norma atau nilai. Tepatnya: psychology of believers atau psychology of religious believers. Psikologi berhubungan dengan sesuatu yang “hidup” dan ajaran agama adalah sesuatu yang “mati”. Pemeluk agamalah yang “hidup” dan menghidupkan agama. Kamu boleh sepakat denganku, boleh tidak.

Gadis ini mengungkap keingintahuannya tentang sikap dan attitude orang-orang yang beragama. Orang-orang yang beragama? Dia menegaskan kata “orang-orang yang beragama” seakan dia tidak masuk dalam komunitas ini.

“Kamu Kristen, bukan?” Kataku.

“I mean, orang-orang yang taat beragama. Aku memang Kristen. Orang tuaku katolik dan rajin ke gereja, tapi aku tidak. Makanya, aku ingin mendalami psikologi orang yang taat beragama itu. Apa yang ada dalam pikiran mereka?” Pada saat itu, aku merasa sepertinya akan menjadi salah satu objek penelitian dia nanti, sebab aku ingin menjadi orang yang taat beragama.

Kami terus berbicara dan pertanyaan gadis itu semakin kuat melintas dalam benakku. “Apa yang ada dalam diri orang-orang beragama?” Gadis ini mengingatkanku pada tiga pertanyaan mendasar Giddens terkait dengan sosiologi agama. Pertama, bagaimana sebuah agama mampu membuat seseorang rela berkorban untuk melakukan ajaran-ajarannya (its ideals)? Kedua, bagaimana agama bisa menjadi aspek yang begitu mengakar dalam sebuah masyarakat? Ketiga, dalam kondisi seperti apa sebuah agama bisa menjadi pemersatu, solusi, atau sumber konflik di dalam sebuah masyarakat?

Ingatanku juga tertuju pada Karl Marx dan Durkheim. Kedua orang ini sama-sama yakin bahwa pola ke-beragama-an manusia akan terus berkembang, dan coraknya yang tradisional akan musnah berganti dengan agama modern yang sesuai dengan zamannya. “The old gods are dead,” tulis Durkheim. Dan Marx menganggap agama sebagai opium of the people (candu masyarakat). Apakah gadis ini sedang menunjukkan satu bentuk dari pola keber-agama-an masa kini?

Kupikir iya. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada gadis South Philly yang memiliki bentuk hidung Irish itu, tapi juga di banyak komunitas agama lainnya. Simbolisme keagamaan mereka miliki sebagai sebuah identitas, tapi essentially mereka sedang mencari dan berusaha memahami apa sebenarnya fungsi dan tujuan sebuah agama. Mereka menjadi pemeluk agama tertentu karena lingkungan dan agama menjadi sesuatu yang taken for granted. Simsalabim. Lalu mereka menjadi Muslim, Kristen, Buddhist, atau yahudi. Orang yang lahir di India menjadi Hindu, lahir di Saudi menjadi Muslim, di Inggris menjadi Kristen, dan orang Israel menjadi Yahudi. Agama menjadi salah satu kelaziman budaya yang sejak lahir sudah melekat pada mereka, tanpa terlebih dahulu bisa memilih. Seperti simbol budaya lainnya: India memakai sari, di Saudi memakai hijab, di Israel memakai topi bundar hitam, dan seterusnya.

Tidak banyak orang yang kemudian bisa memutuskan untuk menentukan pilihannya. Lebih banyak mereka merasa nyaman dengan genetika budaya yang mereka bawa sejak lahir, termasuk agama.

Di sinilah muncul sebuah pertanyaan: jika agama genetically dan inherently sudah menjadi identitas sejak seseorang lahir, lalu apa yang membuat itu bisa dibanggakan? Bukankah hal itu, lebih tepatnya, merupakan sebuah “pemberian” dan bukan “pilihan”? Bukan sebuah hasil dari proses kerja dan keinginan seseorang? Lalu apa yang kemudian menjadikan seseorang merasa begitu bangga saat ia menjadi bagian dari sebuah agama dan cenderung menjelekkan agama yang lain?

Identitas yang melekat pada diri kita dan itu bukan “kehendak” kita adalah nothing: kecuali ia dipolesi dengan amal kebaikan, laku kemanusian, dan usaha-usaha kita untuk mewujudkan kemaslahatan bersama. Demikian juga agama.

Aku ingin menanyakan lebih jauh penemuan sementara telaah psikologi agama yang selama ini telah dilakukan teman semejaku itu, tapi Professor John Raines seketika masuk. Termin kedua kelas akan dimulai. Biarlah kapan saja kulanjutkan. Kupikir, pastilah jawaban dari curiosity gadis ini akan sangat beragam sebab agama pun dipahami berbeda oleh mereka yang memahaminya, merasa memahaminya, pura-pura memahami, atau tidak memahaminya sama sekali.

Philadelphia, 09 Februari 2009