Rabu, 15 April 2009

emang Allah nggak sampe ke Amerika?

Sebut saja namanya Bram. Dia sudah lama bekerja di Philadelphia. Tahun-tahun pertama tiba di Philadelphia, Bram menyewa sebuah apartemen dan tinggal bersama rekan-rekannya. Penghuni dalam satu apartemen bisa mencapai 10 orang, bahkan lebih. Sejak awal Bram sudah merasa ada sesuatu yang tidak nyaman dan kurang cocok tinggal bersama rekan-rekannya. Ini terkait dengan attitude, religiusitas dan spiritualitas. Ia sadar, ia bukan seorang yang sangat taat beragama tapi ia masih berusaha memegang prinsip dasar ajaran agamanya, Islam.

Bram bercerita tentang teman-teman seapartemennya yang kurang memerdulikan lagi ajaran-ajaran agama. Ia tahu, mereka berasal dari keyakinan yang sama dengan dirinya. Bahkan mereka berasal dari etnik yang dikenal taat beragama di Indonesia. Tapi kenapa mereka menjadi berubah di Amerika? Apakah gemerlap cahaya modernitas telah membuat pola pikir dan orientasi hidup mereka berubah? Apakah materialisme telah berkecambah lebat dalam dir mereka dan spiritualism telah mati?

Mereka biasa melakukan judi, tutur Bram, misalnya dengan bermain kartu antar teman, pesta minuman keras dan kumpul kebo. Amerika memang negara bebas, demokratis, dan individualis. Orang bisa melakukan apa saja yang dia mau, dan tak ada hak orang lain mencampuri sesuatu yang bukan urusannya. You are free here!

Mungkin, kebebasan inilah yang melenakan orang-orang itu.

Bram mengaku, karena kondisi tersebut, ia menjadi teralienasi, atau meng-alienasi diri dari orang-orang itu. “Kalo Cuma mau menghalalkan apa yang diharamkan Tuhan, atau mengharamkan apa yang dihalalkanNya, bisa saja aku lakukan. Gampang! It’s easy! Aku sudah kenal lama dengan dunia begituan, pernah bekerja di Bar, tapi aku tidak minum! Aku tidak mau…!”

Masih cerita Bram, di Amerika banyak orang yang mengejar citizenship dengan cara kawin dengan warga Negara asli. Mudah bukan? Tapi coba kamu bayangkan, bagaimana proses pernikahan itu? Apakah ada orang Amerika yang mau melakukannya seperti di Indonesia? Kenalan, lalu komitmen, lalu nikah? Dunia di sini adalah hutan belukar pergaulan bebas. Seks dulu, man! Cocok? Lanjut. Tidak cocok? No way. It means: to get marriage with the American citizen is to do pre-marital sex. Atau dalam bahasa agamisnya: berzinah. Tentu, tidak semua kasus. Meski begitulah gambaran umumnya.

“Lain soal kalau keduanya ketemu di masjid…” kata Bram sambil senyum-senyum. “Aku juga tidak mengerti. Seakan mereka hidup di dunia lain, dan mereka memiliki kehidupan yang berbeda seratus persen dengan Indonesia. Emang Allah nggak sampe ke Amerika!?”

Fenomena seperti inilah yang melecut dia dan kawan-kawan untuk membentuk pusat kegiatan Islam: sebuah masjid.

Berangkat dari semacam keprihatinan di atas, Bram dan teman-teman berinisiatif untuk membentuk pusat kegiatan bagi komunitas muslim Indonesia di Philadelphia. Kini, mereka telah memiliki bangunan sendiri, sebuah masjid yang terletak di 17 Street South Philadelphia: Al-Falah namanya. Saat ini, setiap minggu Al-Falah mengadakan kegiatan rutin berupa pengajian ilmu agama dan belajar membaca al-Qur’an.

Bram hanya berharap, keberadaan masjid Al-Falah bisa menjadi motivator dan reminder untuk dirinya dan teman-temannya yang ada di Philadelphia: bahwa keber-agama-an sejatinya tidak luntur karena peralihan musim, perubahan tempat tinggal, atau persinggungan dengan budaya lain. Pelan tapi pasti, Bram yakin bahwa masjid ini akan sangat meaningful bagi komunitas muslim Indonesia di Philadelphia, dan Amerika pada umumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar