Minggu, 12 April 2009

Ibarat DPR!

Benar kata Bang Veda: aku tak sendiri di Philadelphia. Bang Veda mengatakan itu saat kami sedang menyusuri Broad Street, jalan utama yang membelah wilayah timur dan barat kota Philadelphia. Broad Street adalah jalan panjang utara-selatan Philadelphia yang berujung dari jalan W. Cheltenham Avenue di utara dan bermuara di jalan layang Delaware Expy di ujung selatan. Mobil Honda Odyssey yang kami tumpangi penuh: Bang Veda sekeluarga, Mas Munjid sekeluarga, dan aku yang masih belum berkeluarga.

Di Philadelphia, aku memang tak pernah merasa sendiri. Lebih dari 5000 orang Indonesia, baik yang sudah permanent-resident atau yang immigrant, tinggal di Philadelphia. Mereka tersebar di seluruh wilayah Philadelphia dan mayoritas tinggal di North Philadelphia. Sejak pertama kedatanganku di bandara Philadelphia aku sudah disambut oleh teman-teman dari Indonesia: Mas Rofiq—mahasiswa doctoral di Temple University—dan Mbak Hani—orang Indonesia yang sudah mengantongi citizenship Amerika.

Kondisi saat ini berbeda dengan cerita Mas Munjid enam tahun yang lalu, ketika ia pertama kali sampai di Philadelphia. Tak satu pun orang Indonesia yang dia kenal. Lebih dari satu pekan ia tak makan nasi. Tak satu pun orang Indonesia dia kenal. Hingga akhirnya ia mulai bisa mengenali lingkungan dan tahu di mana ia bisa menemukan nasi.

Mayoritas orang Indonesia yang tinggal di Philadelphia, dan Amerika pada umumnya, adalah pekerja migran ilegal (illegal migrant workers). Mereka datang ke Amerika dengan visa turis atau visa pelajar, lalu mereka lanjutkan dengan tinggal untuk bekerja. Tidak kembali ke Indonesia. Rata-rata, mereka akan tinggal di Amerika lebih dari 5 tahun. Tindakan illegal ini disadari oleh mereka dan mereka tahu resikonya. Tapi mereka sudah sangat faham lika-liku dan bagaimana hidup sebagai pekerja asing yang undocumented. Konsekuensinya, mereka akan masuk dalam daftar black-list pemerintah Amerika, dan sekali pulang ke Indonesia, mereka tidak akan bisa kembali ke Amerika. Kecuali dengan memalsukan identitas diri dari A samapi Z.

Bukan berarti tak ada orang Indonesia yang bekerja sebagai pekerja resmi di Amerika. Ada juga para pekerja legal yang datang ke Amerika dengan visa pekerja, tapi jumlah mereka sangat sedikit dibandingkan dengan pekerja migrant yang undocumented.

Sebenarnya, pekerja migran tidak resmi ini bukan hanya berasal dari Indonesia. Ada jutaan orang yang datang ke Amerika dan bekerja dengan status undocumented: dari Cina, Meksiko, Pakistan, Brasil, dan lainnya. Mereka tersebar di berbagai Negara bagian Amerika Serikat. Orang-orang Indonesia hanya mengisi sedikit ruang dari kebutuhan tenagakerja di Amerika. Para pekerja undocumented ini menjadi alternative dan diinginkan oleh beberapa perusahan, pabrik, atau restoran, karena upah mereka lebih rendah dari pekerja resmi. Mereka tidak asuransi kesehatan, advokasi hokum, atau tunjangan layaknya para pekerja resmi. Agensi (penyalur tenaga kerja, termasuk mereka yang undocumented) menjadi salah satu pihak yang paling berperan dalam lalu lintas para pekerja undocumented ini.

Menurut Syarif, salah seorang pekerja yang sudah tujuh tahun di Philadelphia, biasanya para pekerja masuk ke Amerika dengan dua jalur visa: turis dan “pelajar”. Visa “pelajar” akan diurus oleh agensi, hanya untuk mendapatkan visa masuk, dan selanjutnya mereka akan bekerja selama di Amerika. Tentu, semua proses ini membutuhkan biaya yang tidak murah. Rata-rata, orang yang akan pergi ke Amerika menyediakan minimal 50 juta Rupiah, ditambah dengan transportasi berkisar 10-20 juta.

Tidak heran, jika bukan sembarang orang yang datang ke Amerika. Prosesnya sulit, dan modal awalnya besar. Meski demikian, modal awal yang besar ini bukanlah hal yang memberatkan jika mereka telah berada di Amerika. Pada umumnya, modal awal itu akan kembali dalam hitungan 6 bulan: sebab rata-rata pekerja undocumented bisa memperoleh upah bersih US$ 1000 per bulan. Sebuah angka yang sangat besar untuk ukuran standar gaji Indonesia.

Menyinggung soal gaji, Syarif berkata begini: “Di sini, gaji para pekerja ibarat gaji direktur bank di Indonesia. Ya, katakanlah, mereka itu bekerja di sini mirip dengan DPR di Indonesia. Lima tahun kerja, dengan gaji besar, lalu pulang. Dengan konsekuensi, tidak bisa kembali lagi ke Amerika. Masa DPR kan juga lima tahun.” Lalu ia tertawa.

Syarif benar. Dengan gaji sebesar itu, bekerja selama lima tahun di Amerika, seorang pekerja bisa menabung banyak uang lalu kembali ke Indonesia dan menjadikannya sebagai modal usaha. Minimnya lowongan dan lapangan kerja di Indonesia salah satunya juga disebabkan kurangnya modal usaha. Terkadang modal menjadi media yang paling menentukan untuk mewujudkan kreativitas. Bukankah kesadaran ini juga diamini pemerintah Indonesia dengan memberikan bantuan kepada UKM?

Gaji yang besar ini membuat kehidupan para pekerja migran Indonesia di sini berbeda dengan, misalnya kehidupan tenaga kerja migrant di Malaysia. Para pekerja di sini hidup layaknya resident, penduduk asli Amerika: mereka menyewa atau memiliki apartemen, memiliki mobil, dan melakukan kegiatan di luar rumah tanpa harus takut adanya razia atau bertemu dengan polisi imigrasi. “Di sini tidak ada pemeriksaan paspor di jalan. Tidak seperti di Malaysia, Jepang, atau Negara lainnya. Kecuali kita melakukan kesalahan, lalu diminta surat identitas dan terbukti izin tinggal kita telah lewat, maka datanglah pihak imigrasi,” begitu Syarif menjelaskan.

Tentu saja, nasib para pekerja undocumented di sini tak bisa dibandingkan dengan nasib para pekerja undocumented di Malaysia. Di Negeri Jiran itu, sebagian pekerja Indonesia harus bermain petak umpet dengan polisi imigrasi, hidup di kongsi (penampungan), bahkan harus rela tidur di hutan pada malam hari untuk menhindari razia polisi. Sungguh kehidupan yang kontras.

“Wajar, sebab tingkat kesulitan masuk dan besarnya biaya untuk bekerja ke Amerika jauh lebih mahal daripada bekerja di Malaysia. Tidak bisa dibandingkan,” kata Syarif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar